Demam Tifoid (Tifus), Manifestasi klinis dan Penatalaksanaan Terkini
Penanganan Terkini Demam Tifoid (Tifus)
Demam
tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling sering
dicxemaskan bila saat seseor4ang menderita panas. memang setiap tifus
selalu terjadi manifestasi demam tetapi tidak semua demam harus
didiagnosis tifus, justru pneyebab paling sering demam adalah infeksi
virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif tidak mudah karena pada
awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak khas dan mirip berbagai
penyakit lainnya. Apalagi pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai
saat ini tidak sensitif atau sering mengalami bias untuk mengenali
tifus.
Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu
Salmonella Typhi.Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.
Demam tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit
multisistemik fatal terutama disebabkan oleh Salmonella typhi.
Manifestasi protean demam tifoid membuat penyakit ini menjadi tantangan
diagnostik benar. Presentasi klasik mencakup demam, malaise, sakit perut
menyebar, dan sembelit. Tidak diobati, demam tifoid adalah penyakit
melelahkan yang dapat berkembang menjadi delirium, obtundation,
perdarahan usus, perforasi usus, dan kematian dalam waktu satu bulan
onset. Korban dapat dibiarkan dengan komplikasi neuropsikiatri jangka
panjang atau permanen.
S typhi telah menjadi patogen utama manusia selama ribuan tahun,
berkembang dalam kondisi sanitasi yang buruk, kelebihan populasi, dan
kekacauan sosial. Hal itu mungkin karena bertanggung jawab atas Wabah
Besar Athena pada akhir Perang Pelopennesian. Typhi Nama S berasal dari
typhos Yunani kuno, sebuah asap halus atau awan yang diyakini
menyebabkan penyakit dan kegilaan. Pada tahap lanjutan dari demam
tifoid, tingkat pasien kesadaran benar-benar mendung. Meskipun
antibiotik telah nyata mengurangi frekuensi demam tipus di negara maju,
tetap endemik di negara berkembang masih saja terjadi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s.
Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis
salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk
menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil,
tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan
glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi
tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara
aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies
resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan
sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15
menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah
selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH.
Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil
terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. Kuman ini
dapat hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur
yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini.
Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena demam tifoid.
Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella
typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus.
Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan
menjadi penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular
lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan
binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari
tempat-tempat kotor.
Patogenesis
Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi
klinik pada anak umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang paling
utama di antara semua gejala klinisnya. Pada minggu pertama, tidak ada
gejala khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit
infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain demam, sering
bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan
menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar)
selama beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah
minggu kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin tinggi,
lidah kotor, bibir kering, kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh,
dan lain-lain.
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus. Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum
ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang
biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan
makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi
hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas,
instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang
dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang
berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral
sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella
oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler
Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan
penyakit tifus. Inilah yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski
sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak mungkin mantan penderita masih
menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus
ada yang bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar dan
bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau
tinja penderita.
Epidemiologi
Sejak 1900, sanitasi yang baik dan pengobatan antibiotik yang sukses
telah terus menurun kejadian demam tifoid di Amerika Serikat. Pada tahun
1920, 35.994 kasus demam tifoid yang dilaporkan. Pada tahun 2006, ada
314. Antara tahun 1999 dan 2006, 79% kasus demam tifoid terjadi pada
pasien yang telah di luar negeri dalam 30 hari sebelumnya. Dua pertiga
dari orang-orang ini baru saja berangkat dari anak benua India. The 3
wabah dikenal demam tifoid di Amerika Serikat yang ditelusuri ke makanan
impor atau untuk penangan makanan dari daerah endemik. Hebatnya, hanya
17% kasus yang diperoleh di dalam negeri yang dilacak ke carrier .
Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama di negara-negara
berkembang yang kondisi sanitasi buruk. Demam tifoid adalah endemik di
Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan Oceania, tetapi 80% kasus
berasal dari Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan,
atau Vietnam. Di negara-negara tersebut, tipus demam paling sering
terjadi pada daerah tertinggal. Demam tifoid menginfeksi sekitar 21,6
juta orang atau angka kejadian 3,6 per 1.000 penduduk dan membunuh
200.000 orang setiap tahun.
Di Amerika Serikat, sebagian besar kasus demam tifoid terjadi pada
wisatawan internasional. Insiden tahunan rata-rata demam tifoid per juta
wisatawan dari 1999-2006 oleh daerah atau wilayah keberangkatan adalah
sebagai berikut: Kanada – 0, Belahan Barat di luar Kanada / Amerika
Serikat – 1,3, Afrika – 7,6, Asia – 10,5, India – 89 (122 tahun 2006)
atau Jumlah (untuk semua negara kecuali Kanada / Amerika Serikat) – 2,2
Dengan terapi antibiotik yang cepat dan tepat, demam tifoid adalah
penyakit yang biasanya jangka pendek demam membutuhkan rata-rata 6 hari
rawat inap. Diobati, ia memiliki beberapa gejala sisa jangka panjang dan
risiko 0,2% dari kematian [17] demam tifoid yang tidak diobati adalah
penyakit yang mengancam jiwa durasi beberapa minggu ‘dengan morbiditas
jangka panjang sering melibatkan sistem saraf pusat.. Angka kematian di
Amerika Serikat pada era pra-antibiotik adalah 9% -13%. Demam tifoid
tidak memiliki predileksi rasial. Lima puluh empat persen kasus demam
tifoid di Amerika Serikat dilaporkan antara 1999 dan 2006 pria yang
sering mengalami. Kasus tipus yang paling banyak melibatkan anak usia
sekolah dan dewasa muda. Namun, kejadian benar di antara anak yang
sangat muda dan bayi dianggap lebih tinggi. Presentasi dalam kelompok
usia mungkin atipikal, mulai dari penyakit demam ringan sampai kejang
parah, dan infeksi S typhi mungkin tidak dikenali. Ini dapat menjelaskan
laporan yang saling bertentangan dalam literatur bahwa kelompok ini
memiliki baik tingkat yang sangat tinggi atau sangat rendah morbiditas
dan mortalitas
Manifestasi klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari
gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang
mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam
Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan
susunan saraf pusat.
- Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari
makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus
terutama pada malam hari.
- Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah,
dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
- Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.
Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul :
- demam tinggi dari 39° sampai 40 °C (103° sampai 104 °F) yang meningkat secara perlahan
- tubuh menggigil
- denyut jantung lemah (bradycardia)
- badan lemah (“weakness”)
- sakit kepala
- nyeri otot myalgia
- kehilangan nafsu makan
- konstipasi
- sakit perut
- pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (“rose spots”)
Diagnosis Banding
- Abdominal Abscess
- Amebic Hepatic Abscesses
- Appendicitis
- Brucellosis
- Dengue Fever
- Influenza
- Leishmaniasis
- Malaria
- Rickettsial diseases
- Toxoplasmosis
- Tuberculosis
- Tularemia
- Influenza
- Malaria
- Bronchitis
- Sepsis
- Broncho Pneumonia
- I.S.K (Infeksi Saluran kencing)
- Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)
- Keganasan : – Leukemia
- Tuberculosa – Lymphoma
Diagnosis
- Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis
yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini
masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode
diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan
penderita demam tifoid secara menyeluruh
- Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari
cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha
penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan
diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara
dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi
terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha
kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.
- Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi;
pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; uji
serologis; dan pemeriksaan kuman secara molekuler.
Identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan Diagnosis
pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum
atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka
bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada
awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi jumlah darah yang diambil; perbandingan volume darah
dari media empedu; dan waktu pengambilan darah.
Identifikasi kuman melalui uji serologis
- Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.
typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke
dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat
digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®; metode
enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA),dan pemeriksaan dipstik.
- Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas
pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis
antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
- Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara
antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H)
yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan
titer antibodi dalam serum.
- Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan
(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan
secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung
membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk
konfirmasi hasil dari uji hapusan. Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi
kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2
menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup
D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya
mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
- Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
- Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk melacak
antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi.
Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid
akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan
deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG
total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
- Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis
non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi
oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji
Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan
uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
- Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya
reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan
antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang
khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya
mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan
kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu
3 jam setelah penerimaan serum pasien.
- Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap
antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut
akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan
adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
- Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen
S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized
sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di
tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Uji
ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan
kultur secara luas.
- Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang
spesifik untuk S. typhi.
- Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi
bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan
dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin
dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen
feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha
untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam
laboratorium penelitian.
Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis
- Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun ternyata
pemeriksaan ini sering menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan kesalahan
diagnosis. Dalam penelitian penulis didapatkan infeksi virus yang
sering menjadi penyebab demam pada anak dan orang dewasa ternyata juga
terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu pertama.
- Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor
antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor
penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan.9,13
- Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas
serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya
dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal
yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam
tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas
di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi
dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan
titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
- Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan
hasil widal yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320
hingga 1/1280. Setelah dilakukan follow up dalam waktu demam pada minggu
ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan sebagian kasus menjadi
negatif. Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai widal tersebut
seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada
minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun.
Padahal seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya malahan semakin
meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun,
dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan
perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur darah gall
degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami
self limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan
bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi virus.
- Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya
mengalami diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun.
Sebagian besar penderita atau sekitar 89% pada kelompok ini adalah
kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang saluran napas. Dan
sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah penderita alergi.
Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam
beradarah, didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar
antara 240-360 dan 15 (34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua
penderita tersebut menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak
diberikan terapi antibiotika membaik.
- Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada
penderita tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai
Widal. Banyak penderita alergi pada anak yang mengalami peningkatan
hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus tampak menarik untuk
dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga mekanisme hipersensitif atau
proses auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut
meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya
sangat berlawanan dengan pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa
peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia merupakan daerah
endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh khusus
dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.
- Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi
”overdiagnosis tifus”. Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika
jangka panjang padahal infeksi yang terjadi adalah infeksi virus.
Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali harus
dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang terjadi seringkali
penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua
kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat
yang sangat besar padahal seharusnya tidak terjadi. Belum lagi akbat
efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya
tidak diberikan.
Penanganan
- Pasien tanpa komplikasi dapat diobati secara rawat jalan. Mereka
harus disarankan untuk menggunakan teknik mencuci tangan yang ketat dan
untuk menghindari menyiapkan makanan untuk orang lain selama sakit.
Rawat pasien harus ditempatkan di isolasi kontak selama fase akut
infeksi. Tinja dan urine harus dibuang secara aman.
- Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari
pengobatan suportif melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi
penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk
mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah
baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama
14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
- Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien
diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai
dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan
aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan
umum pasien.
- Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani
perawatan di rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi
penyakit tifus. Waktu penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga satu
bulan.
- Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin,
kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering
digunakan untuk merawat demam tipoid di negara-negara barat. Obat-obat
pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan
kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III.
Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan
fluorokuinolon. Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari,
terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.
Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber
ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.
Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.
Pemberian, oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol dengan dosis
(tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14
hari.
- Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg
BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali
sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami
MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan
fluoroquinolon.
- Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu
sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang
tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk
orang yang melakukan perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya
berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin).
- Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan
dengan manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi
dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit).
Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu
6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada
kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus
- Pembedahan biasanya dilakukan dalam kasus perforasi usus. Kebanyakan
ahli bedah lebih suka sederhana penutupan perforasi dengan drainase
peritoneum. Kecil usus reseksi diindikasikan untuk pasien dengan
perforasi ganda.
- Jika pengobatan antibiotik gagal untuk membasmi kereta
hepatobiliary, kandung empedu harus direseksi. Kolesistektomi tidak
selalu berhasil dalam memberantas carrier karena infeksi hati yang terus
ada.
- Para peneliti dalam laporan Kamerun bahwa senyawa yang berasal dari
biji Turraeanthus africanus, sebuah obat tradisional Afrika untuk demam
tifoid, aktif terhadap S typhi secara in vitro. Tim meneliti sedang
mengembangkan untuk menciptakan tambahan untuk efektifitas antimikroba.
Rekomendasi Antibiotik sesuai negara dan severitasnya
Negara |
Severitas |
First-Line Antibiotik |
Second-Line Antibiotik |
South Asia, East Asia |
Uncomplicated |
Cefixime PO |
Azithromycin PO |
Complicated |
Ceftriaxone IV or
Cefotaxime IV |
Aztreonam IV or
Imipenem IV |
Eastern Europe, Middle East, sub-Saharan Africa, South America |
Uncomplicated |
Ciprofloxacin PO or
Ofloxacin PO |
Cefixime PO or
Amoxicillin PO or
TMP-SMZ PO
or Azithromycin PO |
Complicated |
Ciprofloxacin IV or
Ofloxacin IV |
Ceftriaxone IV or
Cefotaxime IV or
Ampicillin IV
or
TMP-SMZ IV |
Unknown geographic origin or Southeast Asia |
Uncomplicated |
Cefixime PO plus
Ciprofloxacin PO or
Ofloxacin PO |
Azithromycin PO* |
Complicated |
Ceftriaxone IV or
Cefotaxime IV, plus
Ciprofloxacin IV or
Ofloxacin IV |
Aztreonam IV or
Imipenem IV, plus
Ciprofloxacin IV
or
Ofloxacin IV |
Kombinasi dari
azitromisin dan fluoroquinolones tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan perpanjangan QT dan relatif kontraindikasi. |
- Kloramfenikol (Chloromycetin) Mengikat 50S
ribosomal subunit-bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menghambat sintesis protein. Efektif terhadap bakteri gram negatif dan
gram positif. Sejak diperkenalkan pada 1948, telah terbukti sangat
efektif untuk seluruh dunia demam enterik. Untuk strain sensitif, masih
paling banyak digunakan antibiotik untuk mengobati demam tifoid. Pada
tahun 1960, S typh i strain dengan plasmid-mediated resistensi terhadap
kloramfenikol mulai muncul dan kemudian menjadi tersebar luas di
negara-negara endemik di Amerika dan Asia Tenggara, menyoroti kebutuhan
untuk agen alternatif.
Menghasilkan peningkatan yang cepat dalam kondisi umum pasien, diikuti
oleh penurunan suhu badan sampai yg normal dalam 3-5 d. Mengurangi
preantibiotic era fatalitas kasus tarif dari 10% -15% menjadi -4% 1%.
Cures sekitar 90% pasien. Diperintah PO kecuali pasien adalah diare atau
mengalami mual, dalam kasus tersebut, IV rute harus digunakan pada
awalnya. IM rute harus dihindari karena dapat menyebabkan darah tidak
memuaskan, menunda penurunan suhu badan sampai yg normal.
- Amoksisilin (Trimox, Amoxil, Biomox) Mengganggu
sintesis dinding sel mucopeptides selama multiplikasi aktif, sehingga
aktivitas bakterisidal terhadap bakteri rentan. Setidaknya seefektif
kloramfenikol dalam percepatan penurunan suhu badan sampai yg normal dan
tingkat kambuh. Kereta pemulihan lebih jarang terjadi dibandingkan
dengan agen lain ketika organisme sepenuhnya rentan. Biasanya diberikan
PO dengan dosis harian 75-100 mg / kg tid selama 14 d.
- Trimetoprim dan sulfametoksazol (Bactrim DS, Septra) Menghambat
pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis asam dihydrofolic.
Aktivitas antibakteri TMP-SMZ termasuk patogen saluran kemih biasa,
kecuali Pseudomonas aeruginosa. Sama efektifnya dengan kloramfenikol
dalam penurunan suhu badan sampai yg normal dan tingkat kambuh.
Trimetoprim sendiri telah efektif dalam kelompok kecil pasien.
- Ciprofloxacin (Cipro) Fluorokuinolon dengan
aktivitas terhadap pseudomonad, streptokokus, MRSA, Staphylococcus
epidermidis, dan sebagian gram negatif organisme namun tidak ada
aktivitas terhadap anaerob. Menghambat sintesis DNA bakteri dan,
akibatnya, pertumbuhan. Teruskan pengobatan untuk minimal 2 d (7-14 d
khas) setelah tanda dan gejala hilang. Terbukti sangat efektif untuk
tifoid dan demam paratifoid. Penurunan suhu badan sampai yg normal
terjadi pada 3-5 d, dan kereta sembuh dan kambuh jarang terjadi.
Kuinolon lain (misalnya, ofloksasin, norfloksasin, pefloxacin) biasanya
efektif. Jika muntah atau diare hadir, harus diberikan IV.
Fluoroquinolones sangat efektif terhadap strain multiresisten dan
memiliki aktivitas antibakteri intraseluler.
Tidak direkomendasikan untuk digunakan pada anak-anak dan wanita hamil
karena potensi diamati untuk menyebabkan kerusakan tulang rawan pada
hewan berkembang. Namun, arthropathy belum dilaporkan pada anak-anak
setelah penggunaan asam nalidiksat (sebuah kuinolon sebelumnya dikenal
untuk menghasilkan kerusakan sendi yang sama pada hewan muda) atau pada
anak dengan fibrosis kistik, meskipun dosis tinggi pengobatan.
- Sefotaksim (Claforan) Penangkapan dinding sel
bakteri sintesis, yang menghambat pertumbuhan bakteri. Generasi ketiga
sefalosporin dengan spektrum gram negatif. Lebih rendah efikasi terhadap
organisme gram positif. Sangat baik dalam kegiatan vitro terhadap S
typhi dan salmonella lain dan memiliki khasiat yang dapat diterima pada
demam tifoid. Hanya IV formulasi yang tersedia. Baru-baru munculnya
negeri diperoleh ceftriaxone tahan infeksi Salmonella telah dijelaskan.
- Azitromisin (Zithromax) Dapat diberikan pada
infeksi mikroba ringan sampai sedang. DPemberian PO 10 mg / kg / hari
(tidak melebihi 500 mg), tampaknya efektif untuk mengobati demam tipus
tanpa komplikasi pada anak 4-17 tahun . Konfirmasi hasil ini bisa
memberikan alternatif bagi pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang, di mana sumber daya medis yang langka.
- Ceftriaxone (Rocephin) Generasi ketiga sefalosporin
dengan spektrum luas gram negatif aktivitas terhadap organisme gram
positif; Bagus aktivitas in vitro terhadap S typhi dan salmonella
lainnya.
- Cefoperazone (Cefobid) Dihentikan di Amerika
Serikat. Generasi ketiga sefalosporin dengan spektrum gram negatif.
Lebih rendah efikasi terhadap organisme gram positif.
- Ofloksasin (Floxin) Suatu asam turunan piridin karboksilat dengan spektrum luas efek bakterisidal.
- Levofloksasin (Levaquin) Untuk infeksi pseudomonas dan infeksi karena resistan terhadap organisme gram negatif.
- Kortikosteroid Deksametason dapat mengurangi
kemungkinan kematian pada kasus demam tifoid berat rumit oleh delirium,
obtundation, stupor, koma, atau syok jika bakteri meningitis telah
definitif dikesampingkan oleh penelitian cairan cerebrospinal. Untuk
saat ini, percobaan yang paling sistematis ini telah menjadi studi
terkontrol secara acak pada pasien berusia 3-56 tahun dengan demam
tifoid berat yang menerima terapi kloramfenikol. Penelitian ini
membandingkan hasil pada 18 pasien diberikan plasebo dengan hasil pada
20 pasien diberikan deksametason 3 mg / kg IV selama 30 menit diikuti
dengan deksametason 1 mg / kg setiap 6 jam selama 8 dosis. Tingkat
kematian pada kelompok deksametason adalah 10% dibandingkan 55,6% pada
kelompok plasebo (P = .003) [52].
Meskipun demikian, hal ini masih diperdebatkan. Sebuah pernyataan 2003,
WHO mendukung penggunaan steroid seperti dijelaskan di atas, tapi review
oleh penulis terkemuka dalam New England Journal of Medicine (2002) [6]
dan British Medical Journal (2006) tidak mengacu pada steroid sama
sekali. Sebuah uji coba 1991 dibandingkan pasien yang diobati dengan 12
dosis deksametason 400 mg atau 100 mg sampai kohort retrospektif di
antaranya steroid tidak diberikan. Percobaan ini tidak menemukan
perbedaan hasil antara kelompok-kelompok. [54]
Data adalah jarang, tetapi penulis artikel ini setuju dengan WHO
deksametason yang harus digunakan dalam kasus-kasus demam tifoid berat.
- Deksametason (Decadron) Pemberian dosis tinggi
deksametason mengurangi mortalitas pada pasien dengan demam tifoid berat
tanpa meningkatnya insiden komplikasi, menyatakan pembawa, atau kambuh
antara korban.
Komplikasi :
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
- Komplikasi intestinal
- Perdarahan usus
- Perforasi usus
- Ileus paralitik
- Komplikasi ekstraintetstinal
- Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
- Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
- Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
- Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
- Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
- Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
- Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom
katatonia.
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang
terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan
kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.
Pencegahan
- Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan
higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat
menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan
dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang
masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.
Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap
penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)
- Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi
jika si kecil terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah pandai
�nenangga�, atau yang belum bisa cebok dengan benar. Vaksinasi harus
diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena setelah kurun waktu itu, kekebalan
terhadap penyakit tifus akan berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi,
tubuh akan kebal, atau kalupun terkena maka penyakit yang menyerang
tidak sampai membahayakan anak
- Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah
vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara
injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated)
yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak
direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong
yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang
yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.
- Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan
kepada anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan
proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu
sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja.
Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang
memiliki resiko terjangkit.
- Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan
kepada anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua
hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus
diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan
setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.
- Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau
harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi
(per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat
diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin
dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid
yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi
berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan
dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak
boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau
penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang
mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem
imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita
kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau
obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian antibiotik.
- Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan
problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin
yang menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi.
Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada
vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah
: demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per
100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang
per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat
terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak
enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).
Daftar pustaka
- Diagnosis of typhoid fever. In : Background document : The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health
Organization, 2003;7-18.
- Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
- Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh
CL, Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90’s.
Singapore : World Scientific, 1992:1-2.
- Hoffman SL. Typhoid Fever. In : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook
of Pediatrics, edition7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-58.
- Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the
management of typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5. Lim PL, Tam FCH,
Cheong YM, Jegathesan M. One-step 2-minute test to detect
typhoid-specific antibodies based on particle separation in tubes. J
Clin Microbiol 1998;36(8):2271-8.
- Parry CM, Hien TT, Dougan G, et al. Typhoid fever. N Engl J Med. Nov 28 2002;347(22):1770-82.
- Ramsden AE, Mota LJ, Münter S, Shorte SL, Holden DW. The SPI-2 type
III secretion system restricts motility of Salmonella-containing
vacuoles. Cell Microbiol. Oct 2007;9(10):2517-29.
- Gotuzzo E, Frisancho O, Sanchez J, Liendo G, Carrillo C, Black RE,
et al. Association between the acquired immunodeficiency syndrome and
infection with Salmonella typhi or Salmonella paratyphi in an endemic
typhoid area. Arch Intern Med. Feb 1991;151(2):381-2.
- Manfredi R, Chiodo F. Salmonella typhi disease in HIV-infected patients: case reports and literature review. Infez Med. 1999;7(1):49-53.
- Gordon MA, Graham SM, Walsh AL, Wilson L, Phiri A, Molyneux E, et
al. Epidemics of invasive Salmonella enterica serovar enteritidis and S.
enterica Serovar typhimurium infection associated with multidrug
resistance among adults and children in Malawi. Clin Infect Dis. Apr 1 2008;46(7):963-9.
- Monack DM, Mueller A, Falkow S. Persistent bacterial infections: the interface of the pathogen and the host immune system. Nat Rev Microbiol. Sep 2004;2(9):747-65.
- Ali S, Vollaard AM, Widjaja S, Surjadi C, van de Vosse E, van Dissel
JT. PARK2/PACRG polymorphisms and susceptibility to typhoid and
paratyphoid fever. Clin Exp Immunol. Jun 2006;144(3):425-31.
- van de Vosse E, Ali S, de Visser AW, Surjadi C, Widjaja S, Vollaard
AM, et al. Susceptibility to typhoid fever is associated with a
polymorphism in the cystic fibrosis transmembrane conductance regulator
(CFTR). Hum Genet. Oct 2005;118(1):138-40.
- Poolman EM, Galvani AP. Evaluating candidate agents of selective pressure for cystic fibrosis. J R Soc Interface. Feb 22 2007;4(12):91-8.
- Ram PK, Naheed A, Brooks WA, Hossain MA, Mintz ED, Breiman RF. Risk factors for typhoid fever in a slum in Dhaka, Bangladesh. Epidemiol Infect. Apr 2007;135(3):458-65.
- Dutta TK, Beeresha, Ghotekar LH. Atypical manifestations of typhoid fever. J Postgrad Med. Oct-Dec 2001;47(4):248-51.
- Lynch MF, Blanton EM, Bulens S, Polyak C, Vojdani J, Stevenson J. Typhoid fever in the United States, 1999-2006. JAMA. Aug 26 2009;302(8):859-65.
- Chau TT, Campbell JI, Galindo CM, Van Minh Hoang N, Diep TS, Nga TT,
et al. Antimicrobial drug resistance of Salmonella enterica serovar
typhi in asia and molecular mechanism of reduced susceptibility to the
fluoroquinolones. Antimicrob Agents Chemother. Dec 2007;51(12):4315-23.
- Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health Organ. May 2004;82(5):346-53.
- Crump JA, Ram PK, Gupta SK, Miller MA, Mintz ED. Part I. Analysis of
data gaps pertaining to Salmonella enterica serotype Typhi infections
in low and medium human development index countries, 1984-2005. Epidemiol Infect. Apr 2008;136(4):436-48.
- Mulligan TO. Typhoid fever in young children. Br Med J. Dec 11 1971;4(5788):665-7.
- Rahaman MM, Jamiul AK. Rose spots in shigellosis caused by Shigella dysenteriae type 1 infection. Br Med J. Oct 29 1977;2(6095):1123-4
- Cunha BA. Malaria or typhoid fever: a diagnostic dilemma?. Am J Med. Dec 2005;118(12):1442-3; author reply 1443-4.
- Woodward TE, Smadel JE. Management of typhoid fever and its complications. Ann Intern Med. Jan 1964;60:144-57.
- Hermans P, Gerard M, van Laethem Y, et al. Pancreatic disturbances and typhoid fever. Scand J Infect Dis. 1991;23(2):201-5.
- Butler T, Islam A, Kabir I, et al. Patterns of morbidity and
mortality in typhoid fever dependent on age and gender: review of 552
hospitalized patients with diarrhea. Rev Infect Dis. Jan-Feb 1991;13(1):85-90.
- Butler T, Knight J, Nath SK, et al. Typhoid fever complicated by
intestinal perforation: a persisting fatal disease requiring surgical
management. Rev Infect Dis. Mar-Apr 1985;7(2):244-56.
- Crum NF. Current trends in typhoid Fever. Curr Gastroenterol Rep. Aug 2003;5(4):279-86.
- Huang DB, DuPont HL. Problem pathogens: extra-intestinal complications of Salmonella enterica serotype Typhi infection. Lancet Infect Dis. Jun 2005;5(6):341-8.
- Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of
Salmonella typhi-specific IgM antibodies and the evolution of the immune
response in patients with typhoid fever. Am J Trop Med Hyg
2002;66(4):416-21.
- Pang T. Molecular biology as a diagnostic tool in Salmonellosis.
Dalam : Sarasombath S, Senawong S, Eds. Second Asia-Pacific symposium on
typhoid fever and other Salmonellosis. Thailand : SEAMEO Regional
Tropical Medicine and Public Health Network, 1995:213-6.
- Massi MN, Shirakawa T, Gotoh A, Bishnu A, Hatta M, Kawabata M. Rapid
diagnosis of typhoid fever by PCR assay using one pair of primers from
flagellin gene of Salmonella typhi. J Infect Chemother 2003;9(3):233-7
sumber: http://growupclinic.com/2012/02/17/demam-tifoid-tifus-manifestasi-klinis-dan-penanganannya/
Demam Tifoid (Tifus), Manifestasi klinis dan Penatalaksanaan Terkini Penanganan Terkini Demam Tifoid (Tifus) Demam ti...